BAB 1 KHILAFAH ISLAMIYYAH
1.1 Khilafah Dalam Terminologi Bahasa
Daulah Islamiyyah adalah Khilafah Islamiyyah, atau Imamah[1]. Para ‘ulama tidak membedakan kata imamah dan Khilafah. Keduanya memiliki arti yang sama.[2] Thahawiy menyatakan,” Khilafah merupakan refleksi dari kepemimpinan Daulah Islamiyyah yang melaksanakan konstitusi di wilayah tertentu diantara pandangan-pandangan politik yang ada.[3]
Khilafah berasal dari kata khalafa (bentuk mashdar). Jika, dikatakan khalafahu fi qaumihi (mewakilinya sebagai pemimpin di kaumnya), artinya adalah; yakhlufuhu khilafatan (mewakilinya sebagai Khilafah). Dalam hal ini, Allah swt, berfirman:
وَقَالَ مُوسَى ِلأَخِيهِ هَارُونَ اخْلُفْنِي فِي قَوْمِي وَأَصْلِحْ وَلاَ تَتَّبِعْ سَبِيلَ الْمُفْسِدِينَ
"Dan berkata Musa kepada saudaranya yaitu Harun, “Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku.”[al-A’raf:142][4]
Dalam Kamus Lisaan al-‘Arab disebutkan, “istakhlafa fulaan min fulaan: ja’alahu makaanahu. Wa khalafa fulan fulaanan idza kaana khaliifatuhu yuqaal: khalaftu fulaanan, akhlifuhu takhliifan, wa istakhlaftuhu anaa ja’altuhu khaliifatiiy wa istakhlafahu.[5] [fulan menggantikan [kepemimpinan] fulan yang lain; yakni menggantikan posisinya. Fulan menggangkat fulan [sebagai wakil kepemimpinannya] jika khalifahnya berkata, “saya mengangkat fulan [sebagai wakil kepemimpinanku], aku mengangkatnya sebagai wakil, dan saya mengangkatnya [sebagai wakil], dan saya menjadikan ia sebagai khalifahku, dan menggantikannya.]”
Abu Baqa’ berkata, “Khalifah adalah orang yang menggantikan dan menempati posisi orang lain….sedangkan Khilaafah adalah niyabah [perwakilan] dari orang lain, disebabkan karena kepergian orang yang diwakilinya, kematiannya, serta karena kelemahannya.”[6]
Secara literal, khaliifah memiliki makna; “Orang yang mewakili orang-orang sebelumnya. Bentuk jama’ dari khaliifah adalah khulafaa’. Seperti halnya kariimah dan karaaim, maka bentuk jama’ dari khaliifah adalah khulafaa’. Imam Sibawaih berkata, “Khaliifah wa khulafaa’.[7]
Adapun riwayat yang menuturkan;” Ada seorang ‘Arab bertanya kepada Abu Bakar ra, “Anda adalah khalifah Rasulullah saw. Abu Bakar menjawab, “Bukan.” Orang ‘Arab itu bertanya lagi, “Lalu siapakah anda?” Abu Bakar berkata, “Saya adalah Khalifah setelah beliau SAW”, Imam Ibnu Atsiir berkata,”Ini adalah bentuk ketawadlu’an, dan kerendahan hati dari Abu Bakar ra, saat ia ditanya, “Kamu Khalifah Rasulullah saw”, yakni, bahwa khalifah adalah orang yang menggantikan posisi orang yang telah pergi (meninggal/dzaahib), dan menempati kedudukannya. Sedangkan al-khaalifah juga bisa bermakna, “orang yang tidak memiliki kebaikan sama sekali.”[8] Perkataan Abu Bakar seperti itu bisa dimengerti, karena, meskipun kedudukan orang yang menggantikan Rasulullah saw dalam hal kepemimpinan dalam Daulah Islamiyyah sangat tinggi, akan tetapi orang tersebut tidak akan pernah mampu menggantikan kedudukan beliau dalam semua hal. Atas dasar itu, ucapan Abu Bakar tersebut hanya menunjukkan keluhuran budi pekerti –ketawadlu’an-- dari Abu Bakar ra. Sebab, orang Arab biasa menyebut kata khalifah dengan arti, “al-‘umuud min a’madah al-bait fi muakhkhirihi” [pemimpin pengganti dari pemimpin-pemimpin negara sebelumnya].”[9]
Pada dasarnya, Abu Bakar mengetahui bahwa ia adalah khalifah Rasul yang menggantikan posisi beliau saw sebagai kepala negara. Akan tetapi, ia paham bahwa tidak semua aspek ia bisa menggantikan kedudukan Nabi, terutama kedudukan risalah dan kenabian. Oleh karena itu, begitu begitu tawadlu'nya Abu Bakar terhadap Rasulullah saw, saat beliau ditanya, “Anda khalifah Rasulullah saw”, beliau menjawab, “Bukan. Akan tetapi khalifah setelah Rasul.” Riwayat di atas tidak menunjukkan, bahwa Abu Bakar ra bukan khalifah Rasulullah saw, akan tetapi sekedar menunjukkan ketinggian akhlaq –ketawadlu’an-- Abu Bakar.
Dr. Mahmud ‘Abd al-Majid al-Khalidiy mengomentari riwayat di atas,”… itulah makna yang dimaksudkan Abu Bakar ra, sebab Rasulullah saw adalah pemimpin pertama bagi Daulah Islamiyyah, pembangun pilar negara, peletak dasar struktur negara, dan administrasinya, serta pengatur seluruh urusan kaum muslimin. Tidak ragu lagi, Abu Bakar adalah pemimpin kedua bagi Daulah Islamiyyah. Beliau ra. adalah salah satu pemimpin dari pemimpin-pemimpin Daulah Islamiyyah. Ucapan Abu Bakar tersebut tidak memiliki makna selain ungkapan ketawadlu’an dan ketinggian akhlaq Abu Bakar ra, sebab makna-makna yang dipahami oleh orang Arab [berkenaan dengan lafadz khaalifah] tidak korelatif dengan apa yang dimaksudkan Abu Bakar ra. Al-Khaalifah sendiri memiliki banyak makna, “al-Qaa’idah fi al-Daar min al-Nisaa’ [Wanita yang duduk (menaphouse) di dalam rumah ]; “al-mukhtalif ‘an al-qaum fi al-ghazw”[orang yang lari dari kaumnya pada saat peperangan], “al-katsiir al-khilaaf “ [orang yang sangat menentang], “al-faasid min al-naas” [orang suka berbuat kerusakan], atau “al-ladziy laa ghinaa’ ‘indahu wa laa khair fiihi.” [orang yang tidak memiliki keutamaan sama sekali].[10] Abu Bakar ra tidak mungkin tidak mengetahui makna-makna tersebut. Oleh karena itu, apa yang diungkapkan Abu Bakar hanya menunjukkan ketawadlu’an dan keutamaan akhlaq dari Abu Bakar ra semata, bukan yang lain.[11]
1.2 Khilafah Menurut Pengertian Syara’
‘Ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan khilaafah. Perbedaan pendefinisian ini disebabkan karena adanya perbedaan dalam menetapkan sudut pandang terhadap fakta Khilafah itu sendiri.
Khilafah adalah, “Pengganti dari Rasulullah saw dalam melaksanakan syari’at Islam.”[12] Ini adalah definisi Khilafah menurut Musthofa Shabariy, Syaikhul Islam di Daulah ‘Utsmaniyyah.
Imam Baidlawiy mendefinisikan Khilafah dengan, “Pribadi yang menggantikan Rasulullah saw dalam menegakkan syari’at Islam, menjaga agama, dimana ia wajib ditaati oleh seluruh kaum muslimin (ummat).”[13]
Menurut Imam Kamal bin Himaam, Khilafah adalah, “Orang yang berhak mengatur urusan seluruh kaum muslimin.”[14]
Imam ‘Adldi al-Diin al-Aijiiy mendefinisikan Khilafah sebagai berikut; “Kepemimpinan umum pada perkara dunia, dan akherat yang dimiliki oleh seseorang.”[16] Kemudian ia menyatakan dalam kitab yang sama, bahwa khalifah lebih utama disebut sebagai,”Khilafah al-Rasuul dalam menegakkan agama dan menjaga agama yang ia wajib ditaati oleh seluruh kaum muslimin.”
Sebagian ‘ulama Syafi’iyyah mendefinisikan Khilafah dengan, “Imam A’dzam (Pemimpin Agung) yang mengganti posisi Rasul dalam menjaga agama, dan mengatur kehidupan dunia.” [17]
Imam al-Mawardiy mendefinisikannya dengan, “Imamah yang diposisikan untuk Khilafah Nubuwwah dalam hal menjaga agama dan urusan dunia.”[18]
Ibnu Khaldun mendefinisikan Khilafah dengan, “Wakil dari Allah dalam menjaga agama dan urusan dunia.”[19]
Menurut Syaikh al-Islaam Ibraahim al-Baijuriy Khilafah adalah; “Wakil Nabi saw untuk mengatur kemaslahatan kaum muislimin.”[20]
Definisi-definisi di atas menunjukkan, bahwa para 'ulama memahami Khilafah sebagai “riyaasah al-Daulah al-Islamiyyah” [kepemimpinan Daulah Islamiyyah]. Namun, mereka berbeda pendapat dalam menetapkan posisi Khilafah. Sebagian ‘ulama berpendapat, bahwa ia adalah wakil Nabi, bukan wakil manusia. Sebagian yang lain berpandangan, bahwa ia wakil Allah. Sedangkan yang lain lebih memfokuskan kepada aspek ketaatan kepada orang yang diangkat menjadi khalifah.
Dr. ‘Abd al-Majid al-Khalidiy menyatakan, “Yang tepat, kedudukan (munashib) Khilafah atau khalifah harus didefinisikan sejalan dengan tujuan disyari’atkannya kewajiban menegakkan Daulah atas kaum muslimin.” Bila kita kaji lebih mendalam mengenai fakta Daulah Islamiyyah, maka kita akan mendapati dua perkara penting berikut ini;
(1) Daulah Islamiyyah bertugas menegakkan hukum-hukum syara’ atas semua rakyat; mengumpulkan dan mendistribusikan zakat, menegakkan hudud, serta mengatur urusan masyarakat dengan Islam, dan mengatur sistem kehidupan Islam secara umum.”
(2) Daulah Islamiyyah bertugas mengemban dakwah Islam, di luar batas wilayah Daulah Islamiyyah seluruhnya; melenyapkan hambatan-hambatan serta halangan-halangan yang menghadang da’wah Islam dengan metode jihad.[21]
Dengan demikian, definisi Khilafah yang paling tepat adalah,” Kepemimpinan Umum bagi seluruh kaum muslimin di kehidupan dunia, untuk menegakkan hukum-hukum Islam, dan mengemban dakwah Islamiyyah ke seluruh penjuru alam.”[22]
Inilah definisi Khilafah Islamiyyah yang paling tepat dan sejalan dengan ketentuan syariat. Atas dasar itu, seseorang baru absah disebut sebagai khalifah, jika ia telah melaksanakan tugas utamanya, yaitu; menegakkan aturan-aturan Allah swt di dalam wilayah Daulah Islamiyyah atas seluruh warga negara; dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Selain itu, seorang khalifah harus mandiri dan tidak terikat dengan sistem-sistem lain yang bisa memberangus independensinya. Ia juga harus memiliki kekuatan untuk melaksanakan tugas-tugasnya, terutama tugas untuk menegakkan syari’at Islam, serta mengemban dakwah ke seluruh penjuru dunia. Ia harus memiliki wilayah kekuasaan tertentu, tempat ia melakukan ri’ayah su’unil ummah (melayani kepentingan umat) secara mandiri. Secara syar’iy, seorang Khalifah tidak boleh dikendalikan oleh kekuatan lain, atau berada di dalam kungkungan kekuasaan pihak lain. Ia harus memiliki independensi dalam mengatur urusan umat, mulai dari mencetak mata uang, menetapkan status kewarganegaraan, membangun kekuatan militer, menjalankan roda industri dan perekonomian, hingga membentuk dan mengangkat aparatus negara, membangun sistem pendidikan yang tangguh, hingga menegakkan syariat Islam dengan cara menerapkan hukum hudud, jinayat, ta’zir, dan mukhalafat.
Seseorang yang tidak memenuhi syarat-syarat di atas tidak absah disebut sebagai Khilafah. Kepemimpinannya juga tidak bisa dianggap sebagai kepemimpinan Khilafah. Sebab, ia tidak memenuhi kriteria dan definisi Khilafah dan khalifah menurut syariat. Untuk itu, jika ada pihak yang mengklaim telah menegakkan Khilafah, atau telah mengangkat seorang khalifah, sementara pihak yang mereka klaim sebagai khalifah itu tidak memenuhi syarat-syarat di atas, terbelenggu independensinya dalam sistem kufur, tidak menerapkan syari’at Islam secara menyeluruh, tidak mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia, dan tidak memiliki wilayah kekuasaan yang jelas, sesungguhnya, klaimnya hanyalah klaim kosong dan tidak berarti sama sekali. Sebab, Khalifah adalah kepala negara (pemimpin negara) yang memimpin Daulah Islamiyyah, bukan pemimpin jama'ah, atau pemimpin kelompok. Lebih dari itu, Khalifah dan Khilafah Islamiyyah tidak mungkin dipisahkan dari konsepsi Daulah Islamiyyah (negara Islam). Keduanya adalah satu kesatuan utuh, bagaikan dua sisi mata uang. Artinya, berbicara Khilafah Islamiyyah, memestikan pula berbicara tentang negara yang memiliki teritorial dan kedaulatan yang jelas.
Sayangnya, di tengah kondisi kaum muslim yang merosot pemikirannya itu, ada sebagian pihak mengklaim telah menegakkan khilafah, atau telah memiliki seorang khalifah, padahal, pihak yang mereka klaim sebagai khalifah itu tidak memenuhi syarat-syarat di atas, terbelenggu independensinya dalam sistem kufur, tidak menerapkan syari’at Islam secara menyeluruh, tidak mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia, dan tidak memiliki wilayah yang jelas. Kenyataan ini menunjukkan, bahwa khalifah atau khilafah yang telah mereka tegakkan itu adalah khalifah atau khilafah semu dan tigak legal secara syar'iy. Khalifah dan khilafah semacam ini harus ditolak dan tidak boleh diakui keberadaannya.
BAB 2 KEWAJIBAN MENGANGKAT SEORANG IMAM (KHALIFAH)
2.1 Hukum Mengangkat Seorang Penguasa (Khalifah)
Hukum mengangkat seorang imam (pemimpin) adalah wajib. Imam Syaukani, dalam kitab Nail al-Authar mengatakan:
"Jumhur ulama berpendapat bahwa mengangkat imam hukumnya adalah wajib. Namun, mereka berbeda pendapat dalam menetapkan, apakah kewajiban itu ditetapkan secara 'aqliy atau syar'iy. Sebagian menyatakan wajib secara 'aqliy. Menurut al-Jahidz, al-Balkhiy dan Hasan al-Basriy, kewajiban mengangkat imam itu ditetapkan secara akal dan syar'iy."[23]
Imam Qurthubiy, dalam Tafsir Qurthubiy menyatakan:
"Tidak ada perbedaan pendapat mengenai wajibnya mengangkat khilafah di kalangan umat Islam dan juga di kalangan imam madzhab, kecuali pendapat yang dituturkan oleh orang yang tuli terhadap syariat (al-'asham), dan siapa yang mempropagandakan atau mengikuti pendapat dari madzabnya.”[24]
Imam al-Mawardiy, dalam kitab al-Ahkaam al-Sulthaniyyah menyatakan:
"Menegakkan Imamah di tengah-tengah umat merupakan kewajiban yang didasarkan pada ijma' shahabat.."[25]
Abu Ya'la al-Firaiy dalam kitab al-Ahkaam al-Sulthaaniyyah berkata:
"Hukum mengangkat seorang imam adalah wajib. Imam Ahmad, dalam sebuah riwayat yang dituturkan oleh Mohammad bin 'Auf bin Sofyan al-Hamashiy, menyatakan, "Fitnah akan muncul jika tidak ada imam yang mengatur urusan manusia."[26]
Dalam kitab al-Siyasah al-Syar'iyyah, Imam Ibnu Taimiyyah berpendapat:
"Usaha untuk menjadikan kepemimpinan (khilafah) sebagai bagian dari agama dan sarana untuk bertaqarrub kepada Allah adalah kewajiban. Taqarrub kepada Allah dalam hal kepemimpinan yang dilakukan dengan cara mentaati Allah dan RasulNya adalah bagian dari taqarrub yang paling utama…."[27] Imam Ibnu Taimiyyah dalam kitab yang sama juga menyatakan: "Bahkan, agama ini akan tegak tanpa adanya khilafah Islamiyyah.."[28]
Di dalam kitab Majmu' al-Fatawa, Syaikhul Islam juga berkata:
"Kemashlahatan anak Adam di kehidupan dunia dan akherat tidak akan sempurna, kecuali jika mereka selalu berkumpul, tolong menolong, dan saling membantu untuk memperoleh kemanfaatan dan menolak kemudlaratan. Oleh karena itu, menurut watak alamiahnya, manusia dikatakan sebagai makhluk sosial. Jika mereka berkumpul, mereka pasti memiliki berbagai urusan yang harus dikerjakan –untuk memperoleh kemashlahatan—dan mempunyai beberapa urusan yang harus dihindari, karena di dalamnya mengandung kemafsadatan. Mereka harus mentaati seseorang (pemimpin) yang mengeluarkan perintah untuk memperoleh kemanfaatan tersebut dan mencegah mereka dari mafsadat. Untuk itu, setiap anak Adam harus memiliki orang yang berhak mengeluarkan perintah dan larangan…"[29]
Imam Ibnu Taimiyyah dalam kitab al-Siyasah al-Syar'iyyah mengatakan:
"Atas dasar itu, Nabi saw memerintahkan umatnya untuk mengangkat para penguasa (wulaat al-amriy) atas mereka, dan memerintahkan penguasa tersebut untuk menunaikan amanah kepada yang berhak. Jika mereka menetapkan hukum di tengah-tengah manusia, mereka harus menetapkannya dengan adil. Allah juga telah memerintahkan umat manusia untuk menaati para penguasa tersebut dalam ketaatan kepada Allah."[30]
Imam 'Ali pernah berkata:
"Manusia harus memiliki pemimpin (khalifah) entah yang baik maupun yang buruk." Lalu, ada yang bertanya kepada beliau, "Amirul mukminin, kalau yang baik kami sudah mengetahuinya, akan tetapi bagaimana dengan pemimpin yang dzalim? Imam Ali menjawab, "Asalkan dia tetap menjalankan hudud, mengamankan jalan-jalan umum, berjihad melawan musuh, dan membagikan harta fai'."[31]
Ibnu Khaldun, dalam Muqaddimah berkata:
"Sesungguhnya, mengangkat seorang imam (khalifah) adalah wajib. Kewajibannya dalam syariat telah diketahui berdasarkan ijma' shahabat dan tabi'in. Tatkala Rasulullah saw wafat, para shahabat segera membai'at Abu Bakar ra dan menyerahkan pertimbangan berbagai macam urusan mereka kepadanya. Demikian pula yang dilakukan kaum Muslim pada setiap masa setelah Abu Bakar. Untuk itu, pada setiap masa yang ada, tidak pernah terjadi anarkhisme di tengah-tengah umat manusia. Kenyataan semacam ini merupakan ijma' yang menunjukkan adanya kewajiban mengangkat seorang imam (khalifah)."[32]
Ibnu Hazm dalam kitab al-Fashl fi al-Milaal wa al-Ahwaa' wa al-Nihaal mengatakan:
"Mayoritas Ahlu Sunnah, Murji'ah, Syi'ah, dan Khawarij bersepakat mengenai wajibnya menegakkan imamah (khilafah). Mereka juga bersepakat, bahwa umat Islam wajib mentaati imam adil yang menegakkan hukum-hukum Allah di tengah-tengah mereka dan memimpin mereka dengan hukum-hukum syariat yang dibawa Rasulullah saw."[33]
Al-Haitsamiy dalam al-Shawaa`iq al-Muhriqah berpendapat:
"Ketahuilah, para shahabat ra telah bersepakat, bahwa hukum mengangkat imam (khalifah) setelah berakhirnya zaman nubuwwah (kenabian) adalah wajib. Bahkan, mereka telah menjadikan hal ini sebagai kewajiban yang terpenting. Buktinya, mereka lebih menyibukkan diri dengan kewajiban tersebut, dan menunda penguburan jenazah Rasulullah saw." [34]
Imam Nawawiy, dalam Syarah Muslim berkomentar:
'Abdurrahman 'Abdu al-Khaaliq, dalam bukunya al-Syura, mengatakan:
"Imamah al-'Amah (kepemimpinan umum) atau khilafah adalah institusi yang dibebani tugas untuk menegakkan syariat Allah swt, memutuskan hukum dengan KitabNya, menjalankan urusan kaum muslim, memperbaiki keadaan mereka, dan melancarkan jihad terhadap musuh mereka. Tidak ada perbedaan pendapat diantara kaum muslim mengenai kewajiban tegaknya Khilafah dan keharusan eksistensinya (keberadaannya). Mereka akan mendapatkan dosa jika lalai dari upaya mendirikannya."[36]
'Abd al-Qadir al-Audah, dalam bukunya al-Islaam wa Awdla'unaa al-Siyaasiyah, menyatakan:
"Khilafah dianggap sebagai salah satu kewajiban diantara fardlu kifayah yang lain, seperti halnya jihad dan peradilan (qadla'). Jika kewajiban ini telah dilaksanakan oleh orang yang memenuhi syarat, maka gugurlah kewajiban ini dari seluruh kaum muslim. Akan tetapi, jika tidak ada seorang pun yang melaksanakannya, maka seluruh kaum Muslim berdosa hingga orang yang memenuhi syarat dapat melaksanakan kewajiban Khilafah ini. Sebagian 'ulama berpendapat, bahwa dosa hanya menimpa dua golongan saja dari kalangan kaum muslim; yakni pertama, ahlu al-ra'yi (kalangan ulama) hingga mereka mengangkat salah seorang dari kaum muslim sebagai khalifah; kedua, orang-orang yang telah memenuhi syarat sebagai khalifah hingga seorang dari mereka terpilih sebagai khalifah. Pendapat yang benar adalah; dosa tersebut akan menimpa seluruh kaum muslim. Sebab, seluruh kaum Muslim telah menjadi obyek taklif (khithab) dari syariat, dan mereka berkewajiban untuk menegakkannya….Jika pemilihan khalifah ini diserahkan kepada satu golongan dari kalangan kaum muslim, maka kewajiban seluruh umat adalah mendorong golongan tersebut untuk menunaikan kewajibannya. Jika tidak, umat turut memikul dosanya…"[37]
Dr. Mahmud al-Khalidiy, dalam bukunya Qawaa'id Nidzaam al-Hukm fi al-Islaam, mengatakan:
"Tidak ada kehinaan yang menimpa kaum Muslim –yang menjadikan mereka hidup di pinggiran dunia--, mengekor berbagai umat, dan terbelakang dalam sejarah, kecuali kelalaian mereka dalam berjuang untuk mendirikan Khilafah, serta tidak bersegeranya mereka untuk mengangkat seorang Khalifah bagi mereka. Semua ini dikarenakan adanya kewajiban untuk selalu terikat dengan hukum syariat yang telah menjadi perkara yang sudah lazim (ma'lum min al-diin wa al-dlarurah), seperti halnya sholat, puasa, dan haji. Melalaikan tugas untuk melangsungkan kembali kehidupan Islam adalah kemaksiyatan terbesar. Untuk itu, mengangkat seorang khalifah bagi kaum muslim adalah kewajiban dan merupakan keharusan dalam rangka menerapkan hukum-hukum syariat atas kaum muslim, dan mengemban dakwah Islam ke seluruh pelosok dunia."[38]
Pendapat-pendapat senada juga diketengahkan oleh 'ulama-'ulama terkemuka, misalnya, Imam Ahmad, Imam Bukhari dan Muslim, al-Tirmidziy, al-Thabaraniy, serta ashhaab al-sunan yang lainnya; Imam al-Zujaj, al-Baghawiy, Imam Zamakhsyariy, Ibnu Katsir, Imam Baidlawiy, Imam Al-Thabariy, Qalqasyandiy, dan lain-lain.[39]
2.2 Dalil-dalil Mengenai Wajibnya Mengangkat Seorang Khalifah
2.2.1 Dalil Al-Quran
Al-Quran tidak menyatakan secara eksplisit perintah untuk mengangkat seorang pemimpin atau khalifah. Al-Quran hanya menyatakan secara implisit mengenai perintah untuk mengangkat seorang khalifah. Meskipun dinyatakan secara implisit (berdasarkan mafhum), akan tetapi kekuatan hukumnya tidak kalah kuatnya dengan nash-nash lain yang disebutkan secara eksplisit. Bahkan, nash-nash yang berbicara tentang wajibnya mengangkat seorang khalifah, makna kontekstualnya telah melekat dengan makna tekstualnya.
Allah swt berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah RasulNya, dan ulil amri di antara kalian. Kemudian, jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.”[al-Nisaa’:59]
Imam Qurthubiy dalam Tafsirnya, menyatakan:
"Setelah ayat sebelumnya (surat al-Nisaa':58) memerintahkan para wulaat (penguasa) untuk menunaikan amanat dan mengatur urusan masyarakat dengan adil, ayat ini diawali dengan perintah kepada rakyat agar mereka, pertama, mentaati Allah swt dengan cara melaksanakan seluruh perintahNya dan menjauhi laranganNya; kedua, mentaati RasulNya, yakni dalam semua hal yang diperintahnya maupun yang dilarangnya; ketiga, mentaati para pemimpin (umaraa')."[40]
Ibn 'Athiyyah menyatakan, bahwa ayat ini merupakan perintah untuk menaati Allah, RasulNya, dan para penguasa. Pendapat senada juga dipegang oleh jumhur 'ulama; Abu Hurairah, Ibn 'Abbas, Ibn Zaid, dan lain sebagainya. [41]
Secara tekstual ayat ini hanya berisikan perintah untuk mentaati ulil amriy (khalifah). Akan tetapi, perintah untuk mentaati ulil amriy, sekaligus merupakan perintah untuk mengangkat seorang ulil amriy (khalifah). Ini bisa dimengerti karena, kewajiban untuk taat kepada ulil amriy tidak mungkin bisa terlaksana jika belum terangkat seorang ulil amriy. Dengan kata lain, perintah untuk taat kepada ulil amriy, memestikan pula perintah untuk mengangkat seorang ulil amriy. Bahkan, mengangkat ulil amriy harus dilaksanakan terlebih dahulu, agar perintah taat kepada ulil amriy bisa ditunaikan[42]. Sebab, ketaatan tidak mungkin diberikan kepada ulil amriy yang ghaib atau belum diangkat secara legal.
Walhasil, ayat di atas merupakan perintah yang tegas bagi kaum muslim untuk mengangkat seorang imam (khalifah).
Selain itu, Allah SWT telah memerintahkan kaum muslim untuk menerapkan hukum-hukum Allah secara menyeluruh dan sempurna. Allah swt berfirman:
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ
"(Dan) Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka dengan apa yang telah diturunkan Allah, dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan waspadalah engkau terhadap fitnah mereka yang hendak memalingkan engkau dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu." (al-Maidah:49).
Di samping itu, terdapat ratusan ayat yang berhubungan dengan masalah politik (kenegaraan) secara langsung. Allah swt berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلَّا تَرْتَابُوا إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah mu`amalahmu itu), kecuali jika mu`amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.." (al-Baqarah:282)
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثَى بِالْأُنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema`afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema`afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma`af) membayar (diat) kepada yang memberi ma`af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih." (al-Baqarah:178)
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
"Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (al-Baqarah:216)
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قَاتِلُوا الَّذِينَ يَلُونَكُمْ مِنَ الْكُفَّارِ وَلْيَجِدُوا فِيكُمْ غِلْظَةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ
"Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa." (al-Taubah:123)
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ أُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيمَةُ الْأَنْعَامِ إِلَّا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ
"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.." (al-Maidah:1)
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendo`alah untuk mereka. Sesungguhnya do`a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (al-Taubah:103)
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ
"Laki-laki dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang telah mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah". (al-Maidah:38)
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى
"Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu), dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya." (al-Thalaq:6)
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman." (Q.S. an-Nur:2)
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
"Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.." (al-Baqarah:275)
مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
"Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya". (Al-Hasyr:7)
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
"Dan orang-orang yang menimbun emas dan perak serta tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka sampaikanlah khabar gembira kepada mereka tentang adzab yang sangat pedih." (al-Taubah:34)
إِنَّ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ لُعِنُوا فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
"Sesungguhnya orang-orang yang menuduh (berbuat zina) kepada wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman, mereka kena la'nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka adzab yang besar. (al-Nuur:23)
وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا
"Dan janganlah kalian saling mematai-matai serta janganlah saling menggunjingkan sebagian kalian dari yang lainnya." (Al-Hujurat:12)
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ يُخْرِجُونَ الرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ أَنْ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ رَبِّكُمْ إِنْ كُنْتُمْ خَرَجْتُمْ جِهَادًا فِي سَبِيلِي وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِي تُسِرُّونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَأَنَا أَعْلَمُ بِمَا أَخْفَيْتُمْ وَمَا أَعْلَنْتُمْ وَمَنْ يَفْعَلْهُ مِنْكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيلِ
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus.." (al-Mumtahanah:1)
Masih banyak ayat maupun hadits yang mengatur masalah-masalah ekonomi, hukum pidana atau perdata, hubungan kemasyarakatan, akhlaq, kenegaraan, militer, mu'amalah, dan lain-lain.
Berdasarkan ayat-ayat di atas kita bisa menyimpulkan, bahwa kaum muslimin telah diwajibkan untuk menerapkan hukum Islam secara menyeluruh dalam semua aspek kehidupan. Allah swt menegaskan:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
"Wahai orang-orang yang beriman masuklah kamu kepada Islam secara menyeluruh. Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagi kamu." (Al-Baqarah: 208)
Dalam menafsirkan ayat ini, Imam Ibnu Katsir menyatakan:
“Allah swt telah memerintahkan hamba-hambaNya yang mukmin dan mempercayai RasulNya agar mengadopsi system keyakinan Islam (‘aqidah) dan syari’at Islam, mengerjakan seluruh perintahNya dan meninggalkan seluruh laranganNya selagi mereka mampu."[43]
Imam Thabariy menyatakan :
“Ayat di atas merupakan perintah kepada orang-orang beriman untuk menolak selain hukum Islam; perintah untuk menjalankan syari’at Islam secara menyeluruh; dan larangan mengingkari satupun hukum yang merupakan bagian dari hukum Islam.”[44]
Pada dasarnya, kewajiban untuk menerapkan seluruh hukum Islam tidak akan mungkin terwujud dengan sempurna, terutama hukum-hukum Islam yang berhubungan dengan pengaturan urusan publik dan negara; misalnya, hudud, jinayat, menarik zakat, seruan jihad, ekonomi, hubungan sosial, politik luar negeri, dan lain sebagainya, tanpa keberadaan imam (khalifah). Atas dasar itu, mengangkat seorang khalifah merupakan kemestian bagi terlaksananya hukum-hukum syariat secara menyeluruh dan sempurna.
2.2.2 Dalil Sunnah
Di dalam sunnah, banyak dituturkan riwayat-riwayat yang menjelaskan secara rinci wajibnya kaum muslim mengangkat seorang pemimpin negara yang akan mengurusi urusan mereka. Nash-nash ini jumlahnya sangat banyak dan diriwayatkan oleh banyak ahli hadits. Rasulullah saw bersabda, artinya:
وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ اسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ الْآخَرِ
"Siapa saja yang telah membai'at seorang imam (khalifah), lalu ia memberikan uluran tangan dan buah hatinya, hendaknya ia menta'atinya jika ia mampu. Apabila ada orang lain hendak merebutnya maka penggallah leher itu".[HR. Muslim]
Diriwayatkan dari Nafi' yang berkata: "Abdullah bin 'Umar pernah berkata kepadaku:
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللَّهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا حُجَّةَ لَهُ وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
"Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: "Siapa saja yang melepas tangannya dari keta'atan kepada Allah, niscaya ia akan berjumpa di hari kiamat tanpa memiliki hujah. Dan siapa saja yang mati sedangkan dipundaknya tidak ada bai'at, maka matinya adalah mati jahiliyyah."
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abi Hazim yang mengatakan:
قَاعَدْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ خَمْسَ سِنِينَ فَسَمِعْتُهُ يُحَدِّثُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ تَكْثُرُ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ وَأَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
"Aku telah mengikuti majelis Abu Hurairah selama 5 tahun, pernah aku mendegarnya menyampaikan hadits dari Rasulullah SAW. Yang bersabda: "Dahulu, Bani Israil selalu dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para Nabi. Setiap kali seorang Nabi meninggal, digantikan oleh Nabi yang lain. Sesungguhnya tidak akan ada nabi sesudahku. (Tetapi) nanti akan ada banyak khalifah." Para shahabat bertanya, "Apakah yang engkau perintahkan kepada kami?" Beliau menjawab, "Penuhilah bai'at yang pertama, dan yang pertama itu saja." Berikanlah kepada mereka haknya karena Allah nanti akan menuntut pertanggungjawaban mereka terhadap rakyat yang dibebankan urusannya kepada mereka."
مَا مِنْ عَبْدٍ اسْتَرْعَاهُ اللَّهُ رَعِيَّةً فَلَمْ يَحُطْهَا بِنَصِيحَةٍ إِلَّا لَمْ يَجِدْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ
“Tidaklah seorang hamba yang Allah telah menyerahkan kepadanya urusan rakyat, tidak mengaturnya dengan nasehat kecuali ia tidak akan akan mencium bau surga.”(HR. Bukhari)
سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا
“Akan ada pemimpin yang kalian ikuti dan kalian ingkari. Barangsiapa mengikutinya maka ia celaka, namun barangsiapa mengingkarinya ia selamat, akan tetapi barangsiapa ridlo dan mengikuti.” Para shahabat bertanya, “Tidakkah kami perangi mereka? Rasul menjawab, “Jangan! Selama mereka masih sholat.”[HR. Bukhari]
Riwayat-riwayat di atas merupakan dalil yang sangat jelas, wajibnya kaum muslim mengangkat seorang kepala negara (khalifah). Lebih dari itu, siapa saja yang di pundaknya tidak ada bai’at maka matinya adalah mati jahiliyyah[45].
2.2.3 Ijma' Shahabat
Bukti lain yang menunjukkan bahwa mengangkat seorang khalifah merupakan bagian tak terpisahkan dari ajaran Islam, adalah perilaku para shahabat radliyallahu 'anhum. Sejarah mutawatir telah menunjukkan kepada kita, bahwa setelah Rasulullah saw wafat, para shahabat berbagi tugas menjadi dua kelompok. Kelompok pertama, sibuk mengurusi jenazah Rasulullah saw. Sebagian kelompok lain pergi ke Saqifah Bani Sa’idah untuk memilih calon pengganti Rasulullah saw. Kaum Muhajirin dan Anshor saling berargumentasi menunjukkan kelebihan masing-masing. Akhirnya, pertemuan Saqifah berhasil mengangkat (membai’at) Abu Bakar al-Shiddiq sebagai khalifah pengganti Rasulullah saw. Setelah selesai melakukan pemilihan khalifah, mereka segera kembali ke kediaman Rasulullah dan segera menyelenggarakan jenazah beliau saw. Waktu itu, jenazah Rasulullah saw baru disemayamkan setelah 2 hari tiga malam, yakni setelah pemilihan di Saqifah selesai.[46] Ini menunjukkan bahwa para shahabat sangat konsens dalam mengurusi persoalan ini (kekhilafahan). Al-Haitsamiy dalam al-Shawaa`iq al-Muhriqah menyatakan:
"Ketahuilah, bahwasanya para shahabat ra telah bersepakat, bahwa hukum mengangkat imam (khalifah) setelah berakhirnya zaman nubuwwah (kenabian) adalah wajib. Bahkan, mereka telah menjadikan hal ini sebagai kewajiban yang terpenting. Buktinya, mereka lebih menyibukkan diri dengan kewajiban tersebut, dan menunda penguburan jenazah Rasulullah saw." [47]
Berdasarkan penjelasan di atas kita bisa menyimpulkan bahwa keberadaan dan kewajiban mengangkat seorang khalifah merupakan kenyataan hukum, historis, dan obyektive yang tidak bisa dibantah lagi.[48]
BAB 3 NEGARA ISLAM
[DAAR AL-ISLAM]
3.1 Daar Dalam Tinjauan Bahasa
Kata daar, secara bahasa bermakna, al-mahallu yajma’ al-banaa’ wa al-saahah; al-manzil al-maskuun [Tempat berkumpulnya bangunan dan tempat lapang; tempat yang ditinggali]. Daar al-Islaam adalah bilaad al-Muslim (negara Islam adalah negara kaum Muslim][49].
Imam al-Raziy dalam Kamus Mukhtaar al-Shihaah menyatakan; al-daar adalah muannatsah (kata benda berjenis perempuan). Makna al-daar di dalam firman Allah swt, "wa lani'ma daar al-muttaqiin", adalah al-matswa wa al-maudli' (kediaman atau tempat tinggal). Sedangkan bentuk jamak (plural) dari kata al-daar adalah ad`uur atau diyaar.[50]
Dalam kitab Lisaan al-'Arab, Ibnu Mandzur menjelaskan; al-daar adalah isim (kata benda) yang mencakup makna al-'irshah (sebidang tanah), al-banaa` (bangunan), wa al-mahallah (tempat tinggal); wa kullu maudlu` halla bihi qaumun wa huwa daaruhum (setiap tempat yang didiami oleh suatu kaum adalah rumah mereka). [51] al-Daar bisa juga bermakna al-balad (negeri). Diriwayatkan dari Sibawaih, bahwasanya ia berkata, "Hadizhi al-daar na'imat al-balad". (Negeri (daar) ini adalah negeri yang diberi kenikmatan). Kata "al-daar" juga bermakna kota Nabi Mohammad saw. Di dalam al-Quran Allah swt berfirman, "Walladziina yatabawwau al-daar wa al-iimana". [Dan orang-orang yang menempati kota Madinah, dan orang-orang yang telah beriman sebelumnya](TQS. Al Hasyr (59):9)[52]
Kata daar banyak disebutkan di dalam al-Quran dengan makna yang beragam. Misalnya, daar al-salaam [TQS Al An'aam (6):127], maknanya adalah surga. Pengertian senada juga tercantum dalam al-Quran, meskipun dengan ungkapan berbeda; semisal, daar al-akhirah [TQS Al An'aam (6):32], daar al-bawaar [TQS Ibrahim (14):28], daar al-muqamah [TQS Faathir (35):35], daar al-qaraar [TQS Al Mukmin (40):39], daar al-khuld [TQS Fushilat (41):28], semuanya bermakna surga.
Daar dengan makna rumah ditunjukkan dalam firman Allah swt, artinya ”Bersukarialah kamu sekalian di rumahmu selama tiga hari.”[TQS Huud (11):65]. Daar dengan pengertian negara atau negeri disebutkan dalam firman Allah swt,artinya, “..nanti Aku akan memperlihatkan kepadamu negeri [negara] orang-orang yang fasik.” [TQS Al A'raaf (7):145]; dan lain sebagainya. Bentuk jama’ dari daar adalah diyaar, duur, diyaarah, ad`ur.[53] Bentuk jama’ diyaar banyak dicantumkan dalam al-Quran; semisal dalam surat [TQS Al Baqarah (2):84], [TQS Al Nisaa` (4):66], [TQS Mumtahanah (60):8,9], [TQS Al Baqarah (2):246].
3.2 Daar dalam Tinjauan Syariat
Dr. Mohammad Khair Haekal menyatakan; sesungguhnya frase Daar al-Islaam adalah istilah syar'iy yang dipakai untuk menunjukkan realitas tertentu dari sebuah negara. Frase Daar al-Kufr juga merupakan istilah syar'iy yang digunakan untuk menunjukkan realitas tertentu dari sebuah negara yang berlawanan dengan daar al-Islaam. Begitu pula istilah "daar al-kufr, daar al-syirk, dan daar al-harb", semuanya adalah istilah syar'iy yang maknanya sama[54] untuk menunjukkan realitas tertentu dari sebuah negara yang faktanya berbeda dengan fakta pertama (daar al-Islaam).
Istilah Daar al-Islaam dan Daar al-Kufr telah dituturkan di dalam Sunnah dan Atsar para shahabat. Imam al-Mawardi menuturkan sebuah riwayat dar Nabi saw, bahwasanya beliau bersabda;
"Semua hal yang ada di dalam Daar al-Islam menjadi terlarang (terpelihara), sedangkan semua hal yang ada di dalam Daar al-syirk telah dihalalkan".[55] Maksudnya, semua orang yang hidup di dalam Daar al-Islaam, harta dan darahnya terpelihara. Harta penduduk Daar al-Islam tidak boleh dirampas, darahnya juga tidak boleh ditumpahkan tanpa ada alasan yang syar'iy. Sedangkan penduduk Daar al-Kufr, maka harta dan darahnya tidak terpelihara, kecuali ada alasan syar'iy yang mewajibkan kaum Muslim melindungi harta dan darahnya[56].
Di dalam kitab al-Kharaj karya Abu Yusuf dituturkan, bahwasanya ada sebuah surat yang ditulis oleh Khalid bin Walid kepada penduduk al-Hiirah. Di dalam surat itu tertulis, "….Aku telah menetapkan bagi mereka (penduduk Hirah yang menjalin perjanjian dzimmah); yakni orang tua yang tidak mampu bekerja, atau orang yang cacat, atau orang yang dahulunya kaya lalu jatuh miskin, sehingga harus ditanggung nafkahnya oleh penduduk yang lain; semuanya dibebaskan dari pembayaran jizyah, dan mereka akan dicukupi nafkahnya dari harta Baitul Maal kaum Muslim, selama mereka masih bermukim di Daar al-Hijrah dan Daar al-Islaam. Jika mereka berpindah ke negeri lain yang bukan Daar al-Hijrah, maka tidak ada kewajiban bagi kaum Muslim untuk mencukupi nafkah mereka.."[57]
Ibnu Hazm mengatakan, "Semua tempat selain negeri Rasulullah saw adalah tempat yang boleh diperangi; disebut Daar al-Harb, serta tempat untuk berjihad.."[58]
Berdasarkan riwayat di atas dapat disimpulkan, bahwa frase Daar al-Islaam, adalah istilah syar'iy yang ditujukan untuk menunjukkan realitas tertentu dari sebuah negara. Sebab, di sana ada perbedaan hukum dan perlakuan pada orang yang menjadi warga negara Daar al-Islaam dan Daar al-Kufr.
Para fukaha juga telah membahas kedua istilah ini di dalam kitab-kitab mereka. Dengan penjelasan para fukaha tersebut, kita dapat memahami syarat atau sifat yang yang harus dimiliki suatu negara hingga absah disebut negara Islam.
Al-Kasaaiy, di dalam kitab Badaai' al-Shanaai', mengatakan, "Tidak ada perbedaan di kalangan fukaha kami, bahwa Daar Kufr (negeri kufur) bisa berubah menjadi Daar al-Islaam dengan tampaknya hukum-hukum Islam di sana. Mereka berbeda pendapat mengenai Daar al-Islaam; kapan ia bisa berubah menjadi Daar al-Kufr? Abu Hanifah berpendapat; Daar al-Islaam tidak akan berubah menjadi Daar al-Kufr kecuali jika telah memenuhi tiga syarat. Pertama, telah tampak jelas diberlakukannya hukum-hukum kufr di dalamnya. Kedua, meminta perlindungan kepada Daar al-Kufr. Ketiga, kaum Muslim dan dzimmiy tidak lagi dijamin keamanannya, seperti halnya keamanaan yang mereka dapat pertama kali, yakni, jaminan keamanan dari kaum Muslim". Sedangkan Abu Yusuf dan Mohammad berpendapat, "Daar al-Islaam berubah menjadi Daar al-Kufr jika di dalamnya telah tampak jelas hukum-hukum kufur.[59]
Di dalam Haasyiyah (catatan pinggir) Ibnu 'Aabidiin atas kitab Al-Durr al-Mukhtaar Syarh Tanwiir al-Abshaar, disebutkan,"Daar al-Islaam tidak akan berubah menjadi Daar al-Harb….(karena) misalnya, orang Kafir berhasil menguasai negeri kita, atau penduduk Mesir murtad kemudian mereka berkuasa, atau diterapkan kepada mereka hukum-hukum kufur; atau negeri itu mencabut dzimmah (perjanjian untuk mendapatkan perlindungan dari Daulah Islam), atau negeri mereka dikuasai oleh musuh; salah satu hal tersebut tidak menjadikan Daar Islam berubah menjadi Daar al-Harb jika telah memenuhi tiga syarat. Sedangkan Abu Yusuf dan Mohammad berpendapat; cukup dengan satu syarat saja; yakni tampaknya hukum-hukum kufur di negara itu, dan ini adalah qiyas.."[60]
Syaikh Mohammad Abu Zahrah berkomentar," Barangkali, buah perbedaan diantara dua pendapat tersebut tampak jelas pada masa kita sekarang ini. Oleh karena itu, bila pendapat Abu Hanifah itu diterapkan maka, negeri-negeri mulai dari wilayah barat hingga daerah Turkistan, dan Pakistan terkategori Daar al-Islam. Sebab, walaupun penduduknya tidak menerapkan hukum-hukum Islam, akan tetapi mereka hidup dalam perlindungan kaum Muslim. Oleh karena itu, negeri-negeri ini termasuk Daar al-Islaam. Dan jika pendapat Abu Yusuf dan Mohammad, serta para fukaha yang sejalan dengan keduanya diterapkan, maka negeri-negeri Islam sekarang ini tidak terhitung sebagai Daar al-Islaam, akan tetapi Daar al-Harb; sSebab, di negeri-negeri itu tidak tampak dan tidak diterapkan hukum-hukum Islam."[61]
Di dalam kamus Fikihnya, Syaikh Sa'diy Abu Habib menjelaskan tentang Daar al-Islam dan Daar al-Harb sebagai berikut;
"Menurut pengikut madzhab Syafi'iy, daar al-harb adalah negeri-negeri kaum kafir (bilaad al-kuffaar) yang tidak memiliki perjanjian damai dengan kaum Muslim. Sedangkan Daar al-Islam menurut pengikut madzhab Syafi'iy adalah setiap negeri yang dibangun oleh kaum Muslim, seperti Baghdad, Bashrah, atau penduduknya masuk Islam, seperti Madinah atau Yaman, atau negeri yang ditaklukkan dengan perang, semacam Khaibar, Mesir, wilayah kota Iraq; atau ditaklukkan secara damai, atau wilayah yang kita miliki dan orang kafir yang hidup di dalamnya membayar jizyah". Sedangkan menurut pengikut Imam Ahmad bin Hanbal, "Daar Islam adalah setiap negeri yang dibangun oleh kaum Muslim, seperti Bashrah, atau negeri yang ditaklukkan oleh kaum Muslim, seperti kota Yaman.."[62]
'Abd al-Qadir Audah menyatakan, "Daar Islam adalah negeri yang tampak jelas penerapan hukum-hukum Islam, atau penduduknya yang Muslim mampu menampakkan hukum-hukum Islam di negeri itu. Termasuk Daar al-Islam juga, setiap negeri yang seluruh penduduknya beragama Islam, atau mayoritasnya beragama Islam. Termasuk Daar al-Islam juga setiap negeri yang dikuasai dan diperintah oleh kaum Muslim, walaupun mayoritas penduduknya bukan kaum Muslim. Termasuk Daar al-Islam juga setiap negeri yang dikuasai dan diperintah oleh non Muslim, namun penduduknya yang Muslim masih tetap bisa menampakkan hukum-hukum Islam, atau tidak ada satupun halangan yang merintangi mereka untuk menampakkan hukum-hukum Islam".[63]
Di dalam kitab al-Siyaasat al-Syar'iyyah karya Syaikh 'Abd al-Wahhab Khalaf dituturkan, "Daar al-Islam adalah negeri yang diberlakukan hukum-hukum Islam; dan keamanan negeri itu dibawah keamanan kaum Muslim, sama saja, apakah penduduknya Muslim atau dzimmiy. Sedangkan Daar al-Harb adalah negeri yang tidak diberlakukan hukum-hukum Islam, dan keamanan negeri itu tidak dijamin oleh kaum Muslim".[64]
Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani merinci apa yang dijelaskan di dalam kitab al-Siyaasat al-Syar'iyyah karya Syaikh 'Abd al-Wahhab Khalaf sebagai berikut, "Penetapan suatu negeri termasuk Daar al-Islam atau Daar al-Kufr harus memperhatikan dua perkara. Pertama, hukum yang diberlakukan di negeri itu adalah hukum Islam. Kedua, keamanan di negeri itu harus dijamin oleh kaum Muslim; yakni; kekuasaannya. Jika di suatu negeri memenuhi dua perkara ini, maka ia disebut Daar al-Islam. Dan negeri itu telah berubah menjadi Daar al-Kufr menuju Daar al-Islam. Akan tetapi, jika salah satu unsur itu lenyap, maka negeri itu menjadi Daar al-Kufr. Oleh karena negeri Islam yang tidak menerapkan hukum-hukum Islam maka ia adalah Daar al-Kufr. Begitu pula sebaliknya, jika negeri Islam menerapkan hukum-hukum Islam, namun keamanannya tidak dijamin oleh kaum Muslim, yakni kekuasaannya; namun dijamin oleh kaum kafir, maka negeri itu termasuk Daar al-Kufr. Oleh karena itu, seluruh negeri kaum Muslim sekarang ini termasuk Daar al-Kufr. Alasannya, negeri-negeri itu tidak menerapkan hukum Islam. Suatu negeri juga tetap disebut Daar al-Kufr, seandainya di dalamnya kaum kafir menerapkan hukum-hukum Islam atas kaum Muslim, namun kekuasaannya dipegang oleh kaum kafir. Dalam keadaan semacam ini, maka keamanan negeri itu di bawah keamanan kafir kafir; dan secara otomatis ia termasuk Daar al-Kufr."[65]
Menurut Dr. Mohammad Khair Haekal, dari pendapat-pendapat di atas, pendapat yang paling rajih adalah pendapat yang menyatakan, bahwa Daar al-Islam adalah negeri yang system pemerintahannya adalah system pemerintahan Islam (diatur dengan hukum Islam), dan pada saat yang sama, keamanan negeri tersebut; baik keamanan dalam dan luar negeri, berada di bawah kendali kaum Muslim[66].
Walhasil, Daar Islaam adalah negara yang menerapkan hukum Islam, dan keamanan negara tersebut di bawah jaminan kaum Muslim.[67]
Daar Kufur adalah negara yang menerapkan syari’at kufur, dan keamanannya tidak dijamin oleh kaum Muslim.”
Definisi di atas didasarkan pada realitas negeri Mekah dan realitas Madinah pasca hijrah. Sebelum hijrah ke Madinah, Mekah dan seluruh dunia adalah Daar al-Kufr. Baru setelah Nabi Mohammad saw dan para shahabatnya hijrah ke Madinah, dan menegakkan Daulah Islamiyyah di sana, maka terwujudlah Daar al-Islam pertama kali dalam sejarah kaum Muslim. Sedangkan Mekah dan negeri-negeri di sekitarnya tetap berstatus Daar al-Kufr. Dari sini kita bisa melihat realitas Mekah sebagai Daar al-Kufr, dan Madinah sebagai Daar al-Islaam. Berdasarkan kedua realitas yang bertentangan inilah kita bisa memahami syarat dan sifat Daar al-Islam dan Daar al-Kufr. Di Mekah saat itu, hukum-hukum Islam tidak diterapkan dalam konteks negara dan masyarakat, meskipun di sana telah tampak sebagian syiar agama Islam, yakni sholat yang dikerjakan oleh kaum Muslim yang masih tinggal di Mekah; itupun harus seijin orang-orang kafir sebagai penguasa Mekah. Di sisi lain, kaum Muslim yang ada di Mekah tidak mampu menjamin keamanannya secara mandiri, akan tetapi mereka hidup di bawah jaminan keamanan kaum kafir. Realitas ini menunjukkan kepada kita, bahwa di Mekah tidak ditampakkan hukum-hukum Islam, dan jaminan keamanan atas penduduknya berada di tangan orang kafir; sehingga Mekah di sebut Daar al-Kufr. Ini berbeda dengan Madinah. Di Madinah, hukum-hukum Islam diterapkan dan ditampakkan secara jelas, dan jaminan keamanan dalam dan luar negeri berada di bawah tangan kaum Muslim.
Realitas tentang Daar al-Kufr juga ditunjukkan oleh negeri Habasyah. Habasyah, negeri di mana kaum Muslim diperintahkan oleh Rasulullah saw untuk berhijrah ke sana, juga tidak tampak adanya penerapan hukum Islam oleh masyarakat dan negaranya. Jika di sana tampak ada sebagian syiar Islam yang dilakukan oleh kaum Muslim yang tinggal di sana; itu pun harus seijin penguasa kufur. Selain itu, keamanan yang ada di Habasyah berada di bawah kekuasaan kaum kafir. Saat itu tidak ada khilaf, bahwa Habasyah adalah Daar al-Kufr.
Bukti lain yang mendukung definisi di atas adalah, sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Sulaiman Ibnu Buraidah; di mana di dalamnya dituturkan bahwasanya Nabi saw bersabda, “
أُدْعُهُمْ إِلَى الإِسْلاَمِ فَإِنْ أَجَـابُوكَ فأَقْبِلْ مِنْهُمْ و كُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ أُدْعُهُمْ إِلَى التَّحَوّلِ مِنْ دَارِهِمْ الى دَارِالمُهَاجِرِيْنَ و أَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ إِنْ فَعَلُوا ذَلِكَ فَلَهُمْ مــا لِلْمُهَاجِرِيْنَ وَ عَلَيْهِمْ مَـا عَلَى الْمُهَـاجِريْنَ
"... Serulah mereka kepada Islam, maka apabila mereka menyambutnya, terimalah mereka dan hentikanlah peperangan atas mereka; kemudian ajaklah mereka berpindah dari negerinya (Daarul Kufur) ke Daarul Muhajirin (Daarul Islam yang berpusat di Madinah); dan beritahukanlah kepada mereka bahwa apabila mereka telah melakukan semua itu, maka mereka akan mendapatkan hak yang sama sebagaimana yang dimiliki kaum muhajirin, dan juga kewajiban yang sama seperti halnya kewajiban kaum muhajirin.”
Hadits ini sebagai dasar pijakan untuk menetapkan istilah daar Islam [negara Islam] dan daar kufur [negara kafir]. Daar al-Muhajirin, pada riwayat di atas adalah sebutan Daar Islam pada masa Rasulullah saw. Manthuq [tekstual] riwayat di atas menunjukkan dengan jelas, bahwa Rasulullah saw memerintahkan para shahabat untuk memerangi negeri-negeri kufur jika mereka tetap menolak bergabung di bawah naungan Daar Muhajirin [Daulah Islamiyyah]. Perintah Rasul untuk memerangi negeri-negeri kufur menunjukkan dengan jelas, adanya batas demarkasi yang berujud wilayah kekuasaan,yang memisahkan antara negara Islam [daar Islam] dengan daar kufur. Dengan kata lain, Daulah Islamiyyah adalah sebuah negara yang memiliki teritorial (wilayah) yang jelas dan tegas. Wilayah yang berada di dalam batas teritorial masuk dalam kekuasaan Daulah Islamiyyah, sedangkan wilayah, atau negara yang berada di luar batas wilayah Daulah Islamiyyah dianggap sebagai negara kufur (daar al-kufr).
Akan tetapi, batas teritorial Daulah Khilafah Islamiyyah bukanlah batas wilayah yang bersifat permanen seperti halnya batas teritorial negara bangsa. Akan tetapi, batas wilayah Daulah Islamiyyah bersifat fleksibel dan terus melebar seiring dengan aktivitas jihad yang dilakukan oleh Daulah Islamiyyah. Ini didasarkan pada kenyataan, bahwa Daulah Islamiyyah akan terus melakukan ekspansi dakwah ke seluruh dunia, dengan jalan propaganda dan jihad, hingga seluruh manusia tunduk di bawah kalimat tauhid; La Ilaha Illa al-Allah. Daerah-daerah yang tunduk dan takluk di bawah kekuasaan Daulah Khilafah Islamiyyah secara otomatis akan dimasukkan sebagai bagian dari wilayah Daulah Khilafah Islamiyyah. Sedangkan daerah yang belum tunduk dan patuh di bawah kekuasaan Khilafah Islamiyyah, dipandang sebagai negara kufur yang wajib diperangi hingga menjadi bagian dari Khilafah Islamiyyah dengan cara jihad fi sabilillah
3.3 Daulah Khilafah Islamiyyah Tidak Harus Berujud Negara?
Sebagian kaum Muslim berpendapat, bahwa Islam tidak mengenal konsep negara dan batas-batas kewilayahan. Menurut mereka, seorang khalifah, atau kekhilafahan Islam tidak mesti memiliki negara, atau teritorial tertentu. Bahkan, masih menurut mereka, meletakkan Islam dalam bingkai sebuah negara, sama artinya telah mengecilkan dan mengerdilkan Islam. Pemahaman semacam ini adalah pemahaman bathil dan bertentangan dengan nash-nash sharih. Bila wilayah negara tidak diperlukan untuk membangun Daulah Khilafah Islamiyyah atau Daulah Islamiyyah, lalu, mengapa Rasulullah saw –dalam hadits yang diriwayatkan dari Sulaiman bin Buraidah-- menyebut negara Muhajirin, dan negara mereka [negara kufur]? Penyebutan daar Muhajirin [negara Islam] memberi pemahaman kepada kita, bahwa Khilafah Islamiyyah harus memiliki wilayah yang jelas. Selain itu, kemestian adanya negara dan batas wilayah yang tegas bagi Daulah Islamiyyah berkaitan erat dengan hukum-hukum berikut ini;
a. Penetapan Status Kewarganegaraan
Seseorang diketahui bahwa ia seorang kafir dzimmiy, kafir mu’ahid, kafir musta’min, atau kafir harbiy, jika ada batas wilayah negara yang jelas. Bila batas wilayah negara tidak ada –tidak memiliki wilayah yang jelas--, tentu kategorisasi kafir dzimmiy, mu’ahid, dan harbiy tidak akan berlaku lagi. Padahal, Rasulullah saw dalam riwayat-riwayat shahih, telah menyebut istilah-istilah kafir dzimmiy, mu’ahid, dan kafir harbiy. Rasulullah saw bersabda artinya; “Barangsiapa membunuh kafir mu’ahid (kafir yang mengadakan perjanjian dengan Daulah Islam) maka dia tidak akan mencium bau surga.”[HR. Bukhari]. Kafir mu’ahid adalah seorang kafir yang negaranya mengadakan perjanjian dengan negara Islam. Hadits ini memberikan pengertian adanya batas wilayah yang tegas antara negara Islam dengan negara kafir. Rasulullah saw bersabda, artinya, “Barangsiapa melukai dzimmiy [kafir dzimmiy] maka pada hari kiamat akulah yang menjadi musuhnya.”[HR. Khathib dalam tarikhnya. Sanadnya hasan]. Rasulullah saw juga bersabda, artinya, “Keluarkanlah kaum musyrikin [posisinya sebagai kafir dzimmiy –lihat Mukhtashar Nailul Authar--dari Jaziratul Arab, dan kenakan upeti para utusan itu, seperti aku pernah mengenakan upeti kepada mereka.[HR.Ahmad, Bukhari,dan Muslim, dari Ibnu ‘Abbas] Hadits ini dengan jelas menyebut istilah kafir dzimmiy. Kafir Dzimmiy adalah seorang kafir yang tunduk dan berada di dalam kekuasaan Daulah Islamiyyah. Hadits ini juga menunjukkan dengan jelas, keharusan adanya wilayah yang tegas, bagi sebuah negara, sehingga bisa diklasifikasi mana kafir dzimmiy dan mana yang bukan. Kafir musta’min, adalah orang kafir yang lari dari negaranya [negara kafir] dan masuk ke dalam Daulah Islamiyyah untuk meminta jaminan keamanan. Inipun dijelaskan dalam sunnah. Rasulullah saw pernah memberikan keamanan kepada utusan-utusan orang musyrik.[68] Ini saja sudah cukup untuk menggugurkan pendapat yang menyatakan, bahwa Daulah Khilafah Islamiyyah yang dipimpin oleh seorang Khalifah tidak harus memiliki wilayah yang tegas. Atas dasar itu, adanya status kewarganegaraan memestikan pula adanya wilayah negara yang jelas dan tegas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas kritikan dan saan yang Anda berikan